Kamis, 08 Desember 2011

Jurnal Kebijakan Dan Manajemen PNS

Jumat, 05 Maret 2010 17:23
Redaksi “Civil Service”, Jurnal Kebijakan dan Manajemen PNS yang dikelola oleh Pusat Pengkajian dan Penelitian Kepegawaian, Badan Kepegawaian Negara mengundang para akademisi dan praktisi serta para pengelola kepegawaian untuk mempublikasikan tulisan/artikel maupun hasil riset terkait/relevan pada Volume IV Nomor 1 dan 2 Tahun 2010.
Tema yang diangkat pada Volume IV Nomor 1 Tahun 2010 adalah “Reformasi Kepegawaian” dan tema pada Volume IV Nomor 2 Tahun 2010 adalah “Profesionalisme PNS”. Urgensi penetapan tema ini didasarkan pada kondisi objektif prioritas kebijakan pemerintah untuk melakukan reformasi birokrasi secara sistematis, komprehensif, dan berkesinambungan, khususnya dalam bidang kepegawaian. Naskah yang diterima dewan redaksi akan di-review oleh Redaksi Ahli. Naskah untuk Volume IV Nomor 1 Tahun 2010 diterima oleh Dewan Redaksi paling lambat Tanggal 30 April 2010 dan naskah untuk Volume IV Nomor 2 Tahun 2010 diterima oleh Dewan Redaksi paling lambat Tanggal 30 September 2010. Naskah dapat dikirim via email: puslitbang_bkn@yahoo.com. Syarat penulisan artikel sesuai dengan format “Civil Service” yang dapat dilihat di www.bkn.go.id). Artikel maksimal terdiri dari 15 – 30 halaman dan diketik dengan spasi tunggal. 

Senin, 10 Oktober 2011

JURNAL PENGKAJIAN KOPERASI DAN UKM NOMOR 1 TAHUN I - 2006

PENELITIAN DAMPAK KEBERADAAN PASAR MODERN
(SUPERMARKET DAN HYPERMARKET)
TERHADAP USAHA RITEL
KOPERASI/WASERDA DAN PASAR TRADISIONAL1

Abstract
The purpose of this study is (1) to identify position of traditional market and modern
market from institutional aspect and existing regulation, (2) to know the impact of the
existance of modern market to retail business managed by cooperative, traditional
market and small and medium enterprise and (3) to draw up a concept on the
empowerment of retail business applied by cooperative, traditional market and small
and medium enterprise.
The main problem of this study is  (1) the position of traditional market and modern
market seen from institusional aspect and the existing regulation, (2) the impact of the
existence of modern market to retail business managed by cooperative, traditional
market and small and medium enterprise seen in aspect of business volume, selling
price, worker numbers and factors affecting consumer behaviour in determining to
shopping and (3) the concept to empower retail business applied by cooperative,
traditional market and small and medium enterprises impact to business volume of
traditional market.
Between before and after the existence of modern is quite different, in which the business
volume of  traditional market was higher before the existence of modern market, while
variable of selling price and worker number is just a slight difference.
The conclusion of this study is (1) the existence of modern market has shreatened
traditional market in which, it has developed by 31,4% (AC Nielson) and has developed
negatively by 8%, (2) business volume of traditional market has decreased due to the
existence of modern market.  No significant difference in worker numbers and
commodities selling price and (3) the decision to shopping in modern market is strongly
affected by factors of : comfort, sanitation, availability of other facilities, and consumers
decision to shopping in traditional market is strongly affected by distance and shopping
habit.

Pengaruh Globalisasi Ekonomi Dan Hukum Ekonomi Internasional Dalam Pembangunan Hukum Ekonomi Di Indonesia

Oleh:  Syarip Hidayat, S.H., M.H.[1]
[Penulis adalah Perancang Muda pada Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia] 

I. Pendahuluan.
Kata globalisasi dalam dekade terakhir ini tidak saja menjadi konsep ilmu pengetahuan sosial dan ekonomi, tetapi juga telah menjadi jargon politik, ideologi pemerintahan (rezim), dan hiasan bibir masyarakat awam di seluruh dunia. Teknologi informasi dan media elektronik dinilai sebagai simbol pelopor yang mengintegrasikan seluruh sistem dunia, baik dalam aspek sosial, budaya, ekonomi dan keuangan.
Globalisasi bukanlah sesuatu yang baru, semangat pencerahan eropa di abad pertengahan yang mendorong pencarian dunia baru bisa dikategorikan sebagai arus globalisasi. Revolusi industri dan transportasi di abad XVIII juga merupakan pendorong tren globalisasi, yang membedakannya dengan arus globalisasi yang terjadi dua-tiga dekade belakangan ini adalah kecepatan dan jangkauannya. Selanjutnya, interaksi dan transaksi antara individu dan negara-negara yang berbeda akan menghasilkan konsekuensi politik, sosial, dan budaya pada tingkat dan intensitas yang berbeda pula. Masuknya Indonesia dalam proses globalisasi pada saat ini ditandai oleh serangkaian kebijakan yang diarahkan untuk membuka ekonomi domestik dalam rangka memperluas serta memperdalam integrasi dengan pasar internasional.
Sangat menarik apa yang dikemukakan oleh Joseph E. Stiglitz, peraih hadiah Nobel Ekonomi tahun 2001 yang menyatakan bahwa ”Globalisasi sendiri sebenarnya tidak begitu baik atau buruk, Ia memiliki kekuatan untuk melakukan kebaikan yang besar, dan bagi negara-negara di Asia Timur yang telah menerima globalisasi dengan persyaratan mereka sendiri, dengan kecepatan mereka sendiri, globalisasi memberikan manfaat yang besar, walaupun ada kemunduran akibat krisis 1997”.[2]
Prof. A.F.K. Organski menyatakan bahwa negara-negara yang sekarang ini disebut negara modern menempuh pembangunanannya melalui tiga tahap pembangunan, yaitu unifikasi (unification), industrialisasi (industriali-zation), dan negara kesejahteraan (social welfare).[3] Pada tingkat pertama, yang menjadi masalah berat adalah bagaimana mencapai integtarsi politik untuk menciptakan persatuan dan kesatuan nasional. Tingkat kedua, perjuangan untuk pembangunan ekonomi dan modernisasi politik. Akhirnya dalam tingkat ketiga, tugas negara yang terutama adalah melindungi rakyat dari sisi negatif industrialisasi, membetulkan kesalahan pada tahap sebelumnya, dengan menekankan kesejahteraan masyarakat. Tingkat-tingkat tersebut dilalui secara berurutan (consecutive) dan memakan waktu relatif lama. Persatuan nasional adalah prasyarat untuk memasuki tahap industrialisasi, industrialisasi merupakan jalan untuk mencapai negara kesejahteraan.[4]
Pada dasarnya setiap kegiatan atau aktivitas manusia perlu diatur oleh suatu instrumen yang disebut sebagai hukum. Hukum disini direduksi pengertiannya menjadi perundang-undangan yang dibuat dan dilaksanakan oleh negara.[5] Cita-cita hukum nasional merupakan satu hal yang ingin dicapai dalam pengertian penerapan, perwujudan, dan pelaksanaan nilai-nilai tertentu di dalam tata kehidupan bernegara dan bermasyarakat yang berasaskan Pancasila dan berdasarkan Undang-Undang Dasar 1945. khusus dalam bidang kehidupan dan kegiatan ekonomi pada umumnya dan dalam rangka menyongsong masyarakat global, cita hukum nasional sangat membutuhkan kajian dan pengembangan yang lebih serius agar mampu turut serta dalam tata kehidupan ekonomi global dengan aman, dalam pengertian tidak merugikan dan dirugikan oleh pihak-pihak lain.[6]
Lembaga hukum adalah salah satu di antara lembaga/pranata-pranata sosial, seperti juga halnya keluarga, agama, ekonomi, perang atau lainnya.[7] Hukum bagaimanapun sangat dibutuhkan untuk mengatur kehidupan bermasyarakat di dalam segala aspeknya, baik dalam kehidupan sosial, politik, budaya, pendidikan, dan yang tak kalah penting adalah fungsinya atau peranannya dalam mengatur kegiatan ekonomi. Dalam kegiatan ekonomi inilah justru hukum sangat diperlukan karena sumber-sumber ekonomi yang terbatas disatu pihak dan tidak terbatasnya permintaan atau kebutuhan akan sumber ekonomi dilain pihak, sehingga konflik antara sesama warga dalam memperebutkan sumber-sumber ekonomi tersebut akan sering terjadi.[8] Berdasarkan pengalaman sejarah, peranan hukum tersebut haruslah terukur sehingga tidak mematikan inisiatif dan daya kreasi manusia yang menjadi daya dorong utama dalam pembangunan ekonomi.
Tuntutan agar hukum mampu berinteraksi serta mengakomodir kebutuhan dan perkembangan ekonomi dengan prinsip efisiensinya merupakan fenomena yang harus segera ditindaklanjuti apabila tidak ingin terjadi kepincangan antara laju gerak ekonomi yang dinamis dengan mandeknya perangkat hukum.[9] Di samping itu ahli hukum juga diminta peranannya dalam konsep pembangunan, yaitu untuk menempatkan hukum sebagai lembaga (agent) modernisasi dan bahwa hukum dibuat untuk membangun masyarakat (social engineering).[10]
Perubahan tatanan dunia saat ini ditandai oleh perkembangan teknologi yang memungkinkan komunikasi dan informasi antara masyarakat internasional menjadi sangat mudah, dan hukum internasional saat ini bercirikan hukum yang harmonis atau setidak-tidaknya hukum transnasional. Harmonisasi hukum di sini diartikan bahwa hukum internasional dipengaruhi hukum nasional dan hukum nasional juga dipengaruhi hukum internasional. Dalam proses harmonisasi hukum, dimana hukum internasional mempengaruhi hukum nasional, berarti negara nasional harus membuat aturan-aturan nasional yang mendorong realisasi kesepakatan guna mencapai tujuan bersama.[11] Sebagai contoh dalam bidang perdagangan internasional, ketentuan-ketentuan perdagangan internasional dalam rangka World Trade Organization (WTO) telah mendorong negara-negara membuat aturan-aturan nasional sebagai tindak lanjut penerapan ketentuan tersebut dalam suasana nasional.
Sebagai akibat globalisasi dan peningkatan pergaulan dan perdagangan internasional, cukup banyak peraturan-peraturan hukum asing atau yang bersifat internasional akan juga dituangkan ke dalam perundang-undangan nasional, misalnya di dalam hal surat-surat berharga, pasar modal, kejahatan komputer, dan sebagainya. Terutama kaidah-kaidah hukum yang bersifat transnasional lebih cepat akan dapat diterima sebagai hukum nasional, karena kaedah-kaedah hukum transnasional itu merupakan aturan permainan dalam komunikasi dan perekonomian internasional dan global.[12] Akibatnya semakin memasuki abad XXI, semakin hukum nasional Indonesia akan memperlihatkan sifat yang lebih transnasional, sehingga perbedaan-perbedaan dengan sistem hukum lain akan semakin berkurang.
Berdasarkan uraian tersebut di atas, penulis tertarik untuk melakukan suatu kajian mengenai pengaruh globalisasi ekonomi dan hukum ekonomi internasional dalam pembangunan hukum ekonomi di Indonesia.
II. Pengaruh Globalisasi Ekonomi dan Hukum Ekonomi Internasional dalam Pembangunan Hukum Ekonomi di Indonesia.
Pembangunan hukum adalah suatu pekerjaan yang sama tuanya dengan pekerjaan pembangunan negara dan bangsa.[13] Hadirnya undang-undang sebagai hukum tertulis melalui perundang-undangan dan dalam proses peradilan sebagai yurisprudensi (judge made law) juga telah lama dikenal dalam dunia hukum, demikian pula halnya dengan bagian dari hukum Indonesia yang saat ini semakin penting dan berpengaruh, yaitu hukum ekonomi Indonesia yang daya berlakunya di samping dalam lingkup nasional juga internasional. Relevansi hukum ekonomi semakin menonjol sejak lintas niaga masuk dalam dunia tanpa batas atau globalisasi ekonomi. Bagi Indonesia, tepatnya setelah meratifikasi persetujuan internasional di bidang perdagangan dalam suatu organisasi internasional yang dikenal dengan World Trade Organization (WTO), karena dengan demikian Indonesia harus mematuhi segala ketentuan yang berlaku bagi semua negara anggota WTO dengan segala konsekuensinya.
Realita ini menempatkan Indonesia untuk benar-benar dan bersungguh-sungguh “mengikuti dan mengembangkan” hukum ekonomi internasional, terutama dalam pelaksanaannya atau penegakkan hukumnya, dimana semua penegak hukum dan pelaku hukum dalam lintas bisnis nasional dan internasional. Hal ini berarti kekeliruan dalam pengelolaannya akan berakibat dirugikannya Indonesia dalam perdagangan internasional atau perdagangan bebas, bahkan dampaknya tidak hanya menyangkut para pihak dalam perjanjian bisnis internasional, melainkan juga rakyat Indonesia secara keseluruhan.
Menjawab dan mengantisipasi dampak perdagangan internasional abad XXI, tidak ada jalan lain kecuali harus menempatkan “Manajemen Penegakkan Hukum Bisnis Internasional” sebagai misi strategis dalam mewujudkan ketahanan ekonomi nasional di tengah globalisasi ekonomi yang sudah dan sedang berlangsung akhir-akhir ini.[14] Semakin baik dalam suatu negara hukum itu berfungsi, maka semakin tinggi tingkat kepastian hukum nyata. Sebaliknya, bila suatu negara tidak memiliki sistem hukum yang berfungsi secara otonom, maka semakin kecil pula tingkat kepastian hukumnya.[15]
Perkembangan dalam teknologi dan pola kegiatan ekonomi membuat masyarakat di dunia semakin saling bersentuhan, saling membutuhkan, dan saling menentukan nasib satu sama lain, tetapi juga saling bersaing. Hal ini secara dramatis terutama terlihat dalam kegiatan perdagangan dunia, baik di bidang barang-barang (trade in goods), maupun di bidang jasa (trade in services). Saling keterkaitan ini memerlukan adanya kesepakatan mengenai aturan main yang berlaku. Aturan main yang diterapkan untuk perdagangan internasional adalah aturan main yang berkembang dalam sistem GATT/WTO.[16]
Manakala ekonomi menjadi terintegrasi, harmonisasi hukum mengikutinya. Terbentuknya WTO (World Trade Organization) telah didahului oleh terbentuknya blok-blok ekonomi regional seperti Masyarakat Eropah, NAFTA, AFTA dan APEC. Tidak ada kontradiksi antara regionalisasi dan globalisasi perdagangan. Sebaliknya integrasi ekonomi global mengharuskan terciptanya blok-blok perdagangan baru. Berdagang dengan WTO dan kerjasama ekonomi regional berarti mengembangkan institusi yang demokratis, memperbaharui mekanisme pasar, dan memfungsikan sistim hukum.
Perkembangan yang mandiri dari perusahaan multinasional kerap kali diramalkan sebagai perkembangan suatu badan yang benar-benar tanpa kebangsaan, dan benar-benar mandiri. Peradaban dunia yang kemudian menjadi hukum internasional turut mempengaruhi pembangunan hukum nasional dan sistem perekonomian negara berkembang. Globalisasi ekonomi sekarang ini adalah manifestasi yang baru dari pembangunan kapitalisme sebagai sistem ekonomi internasional. Sebagai suatu ideologi, globalism menawarkan seperangkat ide, konsep, keyakinan, norma dan tata nilai mengenai tatanan masyarakat dunia yang dicita-citakan serta bagaimana cara untuk mewujudkannya.[17]
Bagaimanapun karakteristik dan hambatannya, globalisasi ekonomi menimbulkan akibat yang besar sekali pada bidang hukum, globalisasi ekonomi juga menyebabkan terjadinya globalisasi hukum. Globalisasi hukum tersebut tidak hanya didasarkan kesepakatan internasional antar bangsa, tetapi juga pemahaman tradisi hukum dan budaya antara barat dan timur.
Globalisasi di bidang kontrak-kontrak bisnis internasional sudah lama terjadi, karena negara-negara maju membawa transaksi baru ke negara berkembang, maka mitra kerja mereka dari negara-negara berkembang akan menerima model-model kontrak bisnis internasional tersebut, dapat disebabkan karena sebelumnya tidak mengenal model tersebut, dapat juga karena posisi tawar (bargainig position) yang lemah. Oleh karena itu tidak mengherankan, perjanjian patungan (joint venture), perjanjian waralaba (franchise), perjanjian lisensi (license), perjanjian keagenan (agence), memiliki format dan substansi yang hampir sama diberbagai negara. Konsultan hukum suatu negara dengan mudah mengerjakan perjanjian-perjanjian semacam itu di negara-negara lain, persamaan ketentuan-ketentuan hukum di berbagai negara bisa juga terjadi karena suatu negara mengikuti model negara maju berkaitan dengan institusi-institusi hukum untuk mendapatkan akumulasi modal. Undang-undang Perseroan Terbatas diberbagai negara, baik dari negara-negara Civil Law maupun Common Law  berisikan substansi yang serupa. Begitu juga dengan peraturan pasar modal, dimana saja tidak berbeda, satu sama lain. Hal ini terjadi karena dana yang mengalir ke pasar-pasar tersebut tidak lagi terikat benar dengan waktu dan batas-batas negara. Tuntutan keterbukaan (transparency) yang semakin besar, berkembangnya kejahatan internasional dalam pencucian uang (money laundering) dan insider trading mendorong kerjasama internasional.
Dibalik usaha keras menciptakan globalisasi hukum, tidak ada jaminan bahwa hukum tersebut akan memberikan hasil yang sama di semua tempat. Hal tersebut disebabkan oleh perbedaan politik, ekonomi dan budaya. Hukum itu tidak sama dengan kuda, orang tidak akan menamakan keledai atau zebra adalah kuda, walau bentuknya hampir sama, kuda adalah kuda. Hukum tidak demikian, apa yang disebut hukum itu tergantung kepada persepsi masyarakatnya.[18]
Friedman, menyatakan bahwa tegaknya peraturan-peraturan hukum tergantung kepada budaya hukum masyarakatnya. Budaya hukum masyarakat tergantung kepada budaya hukum anggota-anggotanya yang dipengaruhi oleh latar belakang pendidikan, lingkungan budaya, posisi atau kedudukan, bahkan kepentingan-kepentingan.[19]  Dalam menghadapi hal yang demikian itu perlu “check and balance” dalam bernegara. “check and balance” hanya bisa dicapai dengan parlemen yang kuat, pengadilan yang mandiri, dan partisipasi masyarakat melalui lembaga-lembaganya. Dalam hal tersebut, khususnya dalam masalah pengawasan dan Law Enforcement, dua hal yang merupakan komponen yang tak terpisahkan dari sistim rule of law. Tidak akan ada law enforcement kalau tidak ada sistim pengawasan dan tidak akan ada rule of law  kalau tidak ada law enforcement yang memadai.
E.C.W. Wade dan Godfrey Philips menyatakan tiga konsep mengenai “Rule of Law” yaitu The Rule Of Law mendahulukan hukum dan ketertiban dalam masyarakat yang dalam pandangan tradisi barat lahir dari alam demokrasi; The Rule of Law menunjukkan suatu doktrin hukum bahwa pemerintahan harus dilaksanakan sesuai dengan hukum; The Rule of Law menunjukkan suatu kerangka pikir politik yang harus diperinci oleh peraturan-peraturan hukum baik substantif maupun hukum acara.[20] Berbagai unsur dari pengertian Rule of Law tersebut haruslah dilaksanakan secara keseluruhan, bukan sepotong-sepotong, dan dalam waktu bersamaan. Pengecualian dan penangguhan salah satu unsurnya akan merusak keseluruhan sistim.
Pada tataran ide normatif dalam GBHN,  hukum secara tegas diletakkan sebagai pendorong pembangunan, khususnya terhadap pertumbuhan ekonomi. Berdasarkan amanat ini, maka hukum tentu sangat memerlukan dukungan yang terdiri dari personalia yang profesional dan beretika, organisasi yang kapabel dan berdaya guna, serta peradilan yang bebas dan berhasil guna. Semuanya ini adalah sebagian prasyarat konsepsional yang paling di butuhkan dalam konteks kekinian Indonesia.[21] Sayangnya, ketika memasuki tataran implementasi-sosiologis, selain tampak dengan jelas berbagai hal yang menggembirakan, terlihat pula adanya “peminggiran” peran hukum dalam upaya mencapai kemajuan bangsa yang telah dicanangkan. Dalam berbagai arena pergulatan hidup masyarakat, terkadang dengan mudah  dilihat atau dirasakan kemandulan peran dan fungsi hukum.
Sebagai penutup tulisan ini, rasanya masih sangat relevan apa yang dikemukakan oleh Prof. Mochtar Kusumaatmadja yang menyatakan bahwa dalam usaha membangun hukum nasional yang berlaku untuk seluruh bangsa dan sanggup mengantisipasi kemajuan dan pergaulan dengan dunia internasional, kita harus memegang teguh pada batas-batas dan pembedaan antara hukum perdata, dan hukum publik dan antara hukum perdata dan hukum pidana yang sudah umum diterima oleh masyarakat dunia.[22]
III. Penutup.
Rasanya tidaklah adil apabila melihat globalisasi dan liberalisasi ekonomi secara apriori, namun sebaliknya menerimanya dengan mentah-mentah begitu saja tanpa bersikap kritis juga bukan sikap yang bijaksana. Dengan berbagai akibat positif dan negatifnya, globalisasi ekonomi bukanlah sesuatu yang tidak dapat dikendalikan, diubah atau bahkan dihentikan. Salah satu langkahnya adalah dengan tetap memberikan kewenangan kepada negara untuk melakukan fungsinya sebagai pengendali pasar melalui berbagai regulasi ekonomi, menyerahkan sepenuhnya aktivitas ekonomi nasional pada mekanisme pasar yang diyakini sebagai “self regulating” justeru akan menimbulkan ketidakadilan bagi banyak pihak di dalam negeri dan sebaliknya membuka peluang transnational untuk mengeksploitasi sumber-sumber daya ekonomi bangsa Indonesia. Pelaksanaan roda pemerintahan dengan demokratis dan menggunakan hukum sebagai salah satu instrumen untuk merencanakan dan melaksanakan program pembangunan yang komprehensif, semoga akan membawa negara ini menuju masyarakat dengan tingkat kesejahteraan yang di cita-citakan.
BIBLIOGRAFI:
1.     Djarab, Hendarmin, dkk., ed. Beberapa Pemikiran Hukum Memasuki Abad XXI: Mengenang Almarhum Prof. Dr. Komar Kantaatmadja, S.H., LL.M. Bandung: Penerbit Angkasa, 1998.
2.     Hartono, C.F.G. Sunaryati. Politik Hukum Menuju Satu Sistem Hukum Nasional. Bandung: Alumni, 1991.
3.     Gaffar, Firoz, ed. Reformasi Hukum di Indonesia. Jakarta: CYBERconsult, 1999.
4.     Juwana, Hikmahanto. Hukum Ekonomi dan Hukum Internasional. Jakarta: Lentera Hati, 2002.
5.     Kartadjoemena, H.S. Substansi Perjanjian GATT/WTO dan Mekanisme Penyelesaian Sengketa. Jakarta: UI Press, 2000.
6.     Kusumaatmadja, Mochtar. Konsep-konsep Hukum dalam Pembangunan. Bandung: Alumni, 2002.
7.     Lubis, T. Mulya, ed. Peranan Hukum dalam Perekonomian di Negara Berkembang. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 1986.
8.     Mendelson, Wallace. “Law and The Develoopment of Nations”, The Journal of Politics, Vol. 32.
9.     Mertokusumo, sudikno. Mengenal Hukum. Yogyakarta: Liberty, 1988.
10.   Otto, Jan Michiel. Kepastian Hukum di Negara Berkembang [Reële Rechtszekerheid in ontwikkelingslanden], diterjemahkan oleh Tristam Moeliono. Jakarta: Komisi Hukum Nasional Republik Indonesia, 2003.
11.   Rahardjo, Satjipto. Ilmu Hukum. Bandung: Citra Aditya Bakti, 1991.
12.   Rajagukguk, Erman. Peranan Hukum Dalam Pembangunan Pada Era Globalisasi: Implikasinya Bagi Pendidikan Hukum di Indonesia. Pidato pengukuhan Guru Besar FH-UI, Jakarta: 4 Januari 1997.
13.   Sarwini dan L. Budi Kagramanto, ed. Puspa Ragam Informasi dan Problematika Hukum. Surabaya: Karya Abditama, 2001.
14.   Stiglitz, Joseph E. Globalisasi dan Kegagalan Lembaga-lembaga Keuangan Internasional [Globalization and Its Discontents], diterjemahkan oleh Ahmad Lukman. Jakarta: Ina Publikatama, 2002.
15.   Suhardi, Gunarto. Peranan Hukum Dalam Pembangunan Ekonomi. Yogyakarta: Universitas Atma Jaya, 2002.
16.   Sumantoro. Hukum Ekonomi. Jakarta: UI Press, 1986.
17.   Susanti, Ida dan Bayu Seto, ed. Aspek Hukum dari Perdagangan Bebas: Menelaah Kesiapan Hukum Indonesia dalam Melaksanakan Peragangan Bebas. Bandung: Citra Aditya Bakti, 2003.
18.   Syawali, Husni dan Neni Sri Imaniyati, ed. Kapita Selekta Hukum Ekonomi. Bandung: Mandar Maju, 2000.
19.   Wignjosoebroto, Soetandyo. Hukum: Paradigma, Metode dan Dinamika Masalahnya, diedit oleh Ifdhal Kasim, dkk. Jakarta: Elsam dan HUMA, 2002.
ENDNOTE:
[1] Perancang Muda, Fungsional Perancang Peraturan Perundang-undangan pada Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia
[2] Joseph E. Stiglitz, Globalisasi dan Kegagalan Lembaga-lembaga Keuangan Internasional [Globalization and Its Discontents], diterjemahkan oleh Ahmad Lukman (Jakarta: Ina Publikatama, 2002), hal. 27.
[3] A.F.K. Organski, dalam Wallace Mendelson, “Law and The Develoopment of Nations”, The Journal of Politics, Vol. 32. hal. 223. (merupakan bagian dari diktat bahan kuliah Hukum dan Pembangunan, dikumpulkan oleh Prof. Erman Rajagukguk untuk Program Pascasarjana, Fakultas Hukum, Universitas Indonesia).
[4] Erman Rajagukguk. Peranan Hukum dalam Pembangunan pada Era Globalisasi: Implikasinya bagi Pendidikan Hukum di Indonesia. Pidato Pengukuhan Guru Besar di ucapkan pada upacara penerimaan guru besar bidang hukum di fakultas Hukum Universitas Indonesia, Jakarta 4 Januari 1997.
[5] Hikmahanto Juwana. Bunga Rampai Hukum Ekonomi dan Hukum Internasional. (Jakarta: Lentera Hati, 2002), hal. 27.
[6] Hartono, Sri Redjeki, “Pembinaan Cita Hukum dan Asas-asas Hukum Nasional (Ditinjau dari Aspek Hukum Dagang dan Ekonomi) dalam Kapita Selekta Hukum Ekonomi, diedit oleh Husni Syawali dan Neni Sri Imaniyati (Bandung: Mandar Maju, 2000), hal. 3.
[7] T. Mulya Lubis, ed., Peranan Hukum Dalam Perekonomian di Negara Berkembang, (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 1986), hal. ix.
[8] Gunarto Suhardi. Peranan Hukum Dalam Pembangunan Ekonomi. (Yogyakarta: Universitas Atmajaya, 2002), hal. v.
[9] Agus Yudha Hernoko, “Kebebasan Berkontrak dalam Kontrak Standar (Pengembangan Konsep Win-Win Solution sebagai Alternatif Baru dalam Kontrak Bisnis” dalam Puspa Ragam Informasi dan Problematika Hukum, diedit oleh Sarwini dan L. Budi Kagramanto, (Surabaya: Karya Abditama, 2001), hal. 95-96.
[10] Sumantoro, Hukum Ekonomi (Jakarta: UI Press, 1986), hal. 330
[11] Sri Setianingsih Suwardi, “Pembentukan Hukum Internasional di Organisasi Internasional dan Pengaruhnya terhadap Pranata Hukum Nasional Indonesia” dalam Beberapa Pemikiran Hukum Memasuki Abad XXI: Mengenang Almarhum Prof. Dr. Komar Kantaatmadja, S.H., LL.M., diedit oleh Hendarmin Djarab, dkk. (Bandung: Penerbit Angkasa, 1998), hal. 190.
[12] C.F.G. Sunaryati Hartono, Politik Hukum Menuju Satu Sistem Hukum Nasional (Bandung: Alumni, 1991), hal 74.
[13] Soetandyo Wignjosoebroto, Hukum: Paradigma, Metode dan Dinamika Masalahnya, diedit oleh Ifdhal Kasim, dkk. (Jakarta: Elsam dan HUMA, 2002), hal 363.
[14] Soedjono Dirdjosiswono, “Manajemen Penegakkan Hukum Bisnis dalam Era Perdagangan Internasional Abad XXI” dalam Beberapa Pemikiran Hukum Memasuki Abad XXI: Mengenang Almarhum Prof. Dr. Komar Kantaatmadja, S.H., LL.M., diedit oleh Hendarmin Djarab, dkk. (Bandung: Penerbit Angkasa, 1998), hal. 14.
[15] Jan Michiel Otto, Kepastian Hukum di Negara Berkembang [Reële Rechtszekerheid in ontwikkelingslanden], diterjemahkan oleh Tristam Moeliono (Jakarta: Komisi Hukum Nasional Republik Indonesia, 2003), hal. 5-6.
[16] H.S. Kartadjoemena. Substansi Perjanjian GATT/WTO dan Mekanisme Penyelesaian Sengketa: sistem, kelembagaan, prosedur implementasi, dan kepentingan negara berkembang. Jakarta: UI Press, 2000, hal. 1.
[17] A.F. Elly Erawaty, “Globalisasi Ekonomi dan Perdagangan Bebas: Suatu Pengantar” dalam Aspek Hukum dari Perdagangan Bebas: Menelaah Kesiapan Hukum Indonesia dalam Melaksanakan Peragangan Bebas, diedit oleh Ida Susanti dan Bayu Seto (Bandung: Citra Aditya Bakti, 2003), hal. 27.
[18] Erman, Op.cit.. hal. 18-19
[19] Ibid. Hlm. 19
[20] Gunarto Suhardi. Op Cit.. hlm .77
[21] Firoz Gaffar, ed., Reformasi Hukum di Indonesia. (Jakarta: CYBERconsult, 2000), Cetakan keempat. hlm. i.
[22] Mochtar Kusumaatmadja, Konsep-konsep Hukum dalam Pembangunan (Bandung: Alumni, 2002), hal. 196.

Harga ideologi di tengah pasar globalisasi

Harga ideologi di tengah pasar globalisasi

Oleh: A. Bakir Ihsan

Akibat itu pula, Pancasila tidak berharga dan dianggap barang langka yang tak menarik untuk diaktualisasikan. Ini terbukti dari semakin sulitnya mencari generasi muda yang, paling tidak, tahu lima sila Pancasila. Beberapa televisi pernah menayangkan wawancara mendadak dengan sejumlah generasi mudah dari kalangan siswa sampai mahasiswa. Sebagian besar mereka tak bisa menyebutkan isi Pancasila. Ini menjadi indikator sederhana dari semakin terasingnya Pancasila dari nafas kehidupan anak bangsa.
Pada peringatan hari lahir Pancasila semua orang tersentak untuk merejuvenasi Pancasila. Semua, terutama elit politik, merasa paling perhatian terhadap nasib Pancasila tanpa menyadari bahwa dirinya telah menjadi bagian dari penyebab 'matinya' Pancasila sebagai dasar negara. Pancasila hanya dijadikan payung penyelamat untuk kepentingan politik kaum elit. Pancasila seperti agama. Ia dikhutbahkan di mimbar politik citra sebagai benteng atas ancaman terhadap diri dan kelompokya untuk kemudian mencari simpati agar diklaim sebagai sosok Pancasilais.
Kenyataan ini semakin menjauhkan Pancasila dari generasi muda di tengah globalisasi yang tak henti-hentinya menghampiri. Tidak berlebihan apabila seorang intelektual seperti Daniel Bell mengumandangkan ikrar the end of ideology.
'Memasarkan' Pancasila
Dalam pidato memperingati hari lahir Pancasila, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) mengajak untuk berhenti memperdebatkan tentang Pancasila sebagai dasar negara. Kini saatnya menjadikan Pancasila sebagai rujukan, sumber inspirasi, dan jendela solusi untuk menjawab segala tantangan.
Pernyataan SBY tersebut merupakan langkah awal bagi upaya menghidupkan kembali Pancasila setelah sekian lama 'dikebumikan'. Bahkan keberanian SBY untuk menjadikan Pancasila sebagai living ideology merupakan fenomena yang cukup unik di tengah hampir seluruh anak bangsa teralienasi dari Pancasila dan sebagian elit merasa sungkan untuk 'memasarkan' Pancasila.
Sejak Presiden B.J. Habibie membuka kran ideologi selain Pancasila sebagai asas organisasi, eksistensi Pancasila semakin terperosok. Bahkan di tengah hujatan terhadap segala atribut Orde Baru, Pancasila betul-betul berada di titik nadir. Hal ini terlihat dari TAP MPR RI Nomor 18/MPR/1998 yang mencabut TAP MPR Nomor 2/MPR/1978 tentang Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila (P4).
Setelah itu, Pancasila ramai-ramai dikubur dan para penggagas reformasi merasa berdosa untuk menyebutkannya. Pancasila ditahbiskan sebagai monumen anti reformasi. Ini yang memperpanjang daftar kegagalan pemimpin di negeri ini untuk menjadikan Pancasila sebagai landasan kebangsaan yang marketable bagi rakyatnya.
Kenyataan ini secara tidak langsung menjadi ancaman bagi upaya revitalisasi dan rejuvenasi Pancasila sebagai way of life. Di samping itu, tantangan lain dari revitalisasi dan rejuvenasi ideologi adalah terbukanya tawaran ideologi luar yang menyatu dalam arus globalisasi.
Di tengah open market democracy, tawaran ideologi semakin terbuka dan semuanya menjanjikan kesejahteraan. Di sinilah Pancasila dipertaruhkan. Kalau secara historis bangsa Indonesia tidak pernah merasakan kesejahteraan dan kedamaian di bawah naungan ideologi Pancasila, maka secara logika, ia tidak akan menarik bagi kalangan generasi bangsa. Bahkan dalam bentuk yang ekstrem bisa muncul kesadaran bahwa negara tanpa ideologi pun tetap eksis.
Dalam kondisi demikian, yang dibutuhkan bukan proses doktrinasi apalagi ideologisasi Pancasila. Pancasila harus dijadikan medium paling mudah untuk merekat kebersamaan yang akhir-akhir ini mulai retak. Layaknya makanan cepat saji, Pancasila harus diturunkan menjadi tata cara hidup yang mudah (cepat) dipahami dan enak (comfortable) dilaksanakan.
Dan hal ini bisa dilakukan melalui keteladanan para pemimpin dalam mengelola negeri ini secara bermartabat. Langkah ini memang tidak mudah, karena para pemimpin negeri ini belum mampu mewariskan Pancasila sebagai way of life. Mereka berhenti pada proses ideologisasi, sakralisasi, dan berakhir dengan politisasi.
Politik endism
Arus globalisasi dengan segala muatannya sebenarnya merupakan proses ideologisasi baru. Hal ini biasanya diiringi dengan politik endism, yaitu sebuah tesis tentang matinya ideologi besar dunia akibat gerusan kapitalisme yang tak tertandingi. Negara maju dengan kapitalismenya menyusup melalui stigma endism. Kenyataan inilah yang dipromosikan oleh para pemikir endist yang tertuang dalam pelbagai karyanya, seperti the end of ideology (Daniel Bell) dan the end of history (Francis Fukuyama), the end of the nation state (Kenichi Ohmae atau Jean-Marie Guehenno), dan lainnya.
Dengan kata lain, ideologisasi globalisasi merupakan bentuk paling nyata dari upaya pengakhiran ideologi lainnya, termasuk Pancasila (the end of the Pancasila?) sehingga memperlancar hegemoni negara maju. Dan tidak tertutup kemungkinan Pancasila pada akhirnya mati di tengah globalisasi akibat ketakberdayaan anak bangsa merespon berbagai godaan global.
Di tengah pasar ideologi yang semakin terbuka saat ini, eksistensi Pancasila sangat rentan terjangkit penyakin endism. Untuk itu, perlu langkah-langkah strategis dan konstruktif dengan memanfaatkan seluruh potensi dan peluang (opportunity) yang ada dalam masyarakat. Salah satu peluang tersebut adalah adanya potensi-potensi 'perlawanan' terhadap arus globalisasi yang belakangan marak terjadi khususnya di negara-negara berkembang, termasuk Indonesia.
Fenomena ini biasanya diiringi oleh keinginan untuk menumbuhkan kembali budaya lokal (local wisdom) khas Indonesia yang plural dan toleran. Inilah modal penting dan cukup strategis bagi pembumian nilai-nilai Pancasila dalam kehidupan warga negara tanpa doktrinasi yang sering berbuah alienasi.
Peluang itu dapat dimanfaatkan secara maksimal dengan cara mengembalikan Pancasila sebagai wacana publik yang toleran dan aktual, diiringi kebijakan dan prilaku politik yang inklusif dan artikulatif. Semoga.
URL Source: http://www.bisnis.com/servlet/page?_pageid=127&_dad=portal30&_schema=PORTAL